Salam Kami


doa rabithah

doa rabithah

HADAPILAH...SHOUTUL HARAKAH

Selasa, 06 November 2012

Wanita-Wanita Agung Pengukir Sejarah


Oleh: Ust. Abu Yusuf Ahmad Sabiq

Jika Anda membuka lembaran panjang sejarah Islam yang sudah berlalu sejak 14 abad silam, niscaya akan kita temukan ratusan, bahkan ribuan atau lebih wanita-wanita agung yang telah mencapai puncak derajat kemuliaan di mata kaumnya, bahkan di mata pembesar mereka.
Ini semua bukti nyata bahwa hanya di bawah naungan Islam lah kaum wanita akan menemukan jati diri dan keagungannya yang sejati. Hal ini sangat penting untuk disampaikan, terutama pada hai-hari ini, di mana kaum muslimin secara umum dan wanitanya secara khusus banyak yang mengagumi peradaban barat yang penuh glamour, tapi sebenarnya tak lebih dari sekadar fatamorgana belaka.
Sekarang marilah kita simak sedikit gambaran yang dipaparkan oleh sejarah tentang keagungan wanita di bawah naungan syariat Islam.


Kaum Wanita Menjadi Nara Sumber Ilmiah Kaumnya
Dari Tsumamah bin Huzn al-Qusyairi berkata, “Saya bertemu dengan Aisyah Radhiyallaahu ‘anha dan saya bertanya kepada beliau tentang nabidz (semacam perasan buah), maka Aisyah Radhiyallaahu ‘anha memanggil seorang budak wanita dari Negeri Ethiopia seraya berkata, ‘Tanyakanlah pada wanita ini, karena dia pernah membuatkannya untuk Rasulullah.’” (HR. Muslim)
Dari Thawus berkata, “Saya bersama Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, tiba-tiba Zaid bin Tsabit Radhiyallaahu ‘anhu berkata, ‘Apakah engkau berfatwa bahwa seorang wanita yang sedang haid boleh pulang (meninggalkan ibadah haji) sebelum melakukan thawaf wada’?’ maka Ibnu Abbas menjawab, ‘Kenapa tidak? Tanyakanlah masalah ini pada Fulanah, seorang wanita dari kalangan wanita Anshar, apakah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk thawaf wada’ dulu?’ setelah itu pada suatu ketika Zaid kembali lagi kepada Ibnu Abbas seraya berkata, ‘Engkau benar.’” (HR. Muslim)
Dari Abu Salamah Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Ada seseorang yang datang kepada Ibnu Abbas, dan saat itu Abu Hurairah sedang berada di dekatnya, lalu seseorang tadi berkata, ‘Beritahukanlah kepadaku tentang hukum seorang wanita yang melahirkan anak setelah empat puluh hari dari saat kematian suaminya?’ maka Ibnu Abbas berkata, ‘Dia wajib menjalani masa iddah dengan waktu yang paling panjang.” Maka saya (Abu Salamah) berkata, ‘Wanita yang hamil, masa iddahnya adalah sampai melahirkan.’ Abu Hurairah berkata, ‘Saya setuju dengan Abu Salamah.’ Maka Ibnu Abbas mengutus Kuraib kepada Ummu Salamah untuk bertanya kepadanya tentang masalah ini, maka Ummu Salamah Radhiyallaahu ‘anha berkat, ‘Suami Subai’ah al-Aslamiyyah terbunuh sedangkan saat itu ia sedang hamil. Empat puluh hari kemudian dia melahirkan, dan dia pun dilamar oleh seseorang, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahkannya. Dan di antara yang melamarnya adalah Abu Sanabil.’” (HR. al-Bukhari, Muslim)

Sebagian ulama besar juga berguru pada wanita
Banyak sekali para ulama semenjak zaman sahabat sampai saat ini yang berguru pada wanita, di antaranya adalah:
1. Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu ‘anhu
Siapa yang tidak mengenal Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu ‘anhu? Siapa yang tidak mengetahui kedekatannya dengan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam? Bukankah beliau adalah ahlul bait sekaligus menantunya? Siapa pula yang tidak mengenal ilmu dan hikmahnya? Meski demikian, Ali Radhiyallaahu ‘anhu pernah berguru pada seorang wanita, yaitu Maimunah binti Sa’d Radhiyallaahu ‘anha, seorang pelayan wanita Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

2. Imam Malik bin Anas Rahimahullaah
Beliau pernah berguru dan meriwayatkan hadits dari Aisyah binti Sa’d bin Abi Waqqash.
Berkata al-‘Ijli, “Dia adalah seorang wanita dari kalangan tabi’in asal kota Madinah dan dirinya adalah seorang yang tsiqah.”

3. Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullaah
Beliau meriwayatkan hadits dari Ummu Umar binti Hassan bin Zaid ats-Tsaqafi
4. Al-Hafizh Ibnu ‘Asakir Rahimahullaah
Di zamannya, beliaulah orang yang paling terpercaya dan paling luas pengetahuannya dalam bidang ilmu hadits. Beliau berguru pada seribu dua ratus ahli hadits (!), di antara gurunya tersebut terdapat delapan puluh lebih wanita.

5. Imam adz-Dzahabi Rahimahullaah
Adakah kehormatan yang lebih tinggi bagi seorang wanita, dibandingkan dengan tatkala seorang imam sekaliber Imam adz-Dzahabi Rahimahullaah harus menyesal tatkala tidak sempat menimba ilmu darinya? Dialah Ummu Muhammad Sayyidah binti Musa al-Mishriyyah.
Cermatilah kisah Imam adz-Dzahabi ini, “Saya sudah bepergian demi menemuinya, ternyata beliau meninggal dunia saat saya masih berada di negeri Palestina pada bulan Rajab tahun 695 H.” Beliau juga berkata, “Saya sangat berkeinginan untuk bertemu dengannya, maka saya pun berangkat menuju Mesir. Menurut sepengetahuanku bahwa saat itu beliau masih hidup, ternyata tatkala saya masuk negeri Mesir, beliau telah meninggal dunia sepuluh hari yang lalu. Beliau meninggal dunia pada hari Jumat, 6 Rajab dan saat itu saya masih berada di lembah Fahmah.”
Dan masih banyak di antara pembesar ulama lainya yang menimba ilmu dari kaum wanita, misalnya Imam Ibnul Qayyim, Ibnu Hajar, al-Mundziri dan lainnya –semoga Allah Subhaanahu wa ta’aala merahmati mereka semua-.

Zaman tidak pernah kosong dari para ulama wanita
Zaman tidak akan pernah melupakan keagungan Aisyah Radhiyallaahu ‘anha, keutamaannya tidak terhitung, ilmunya tak terhingga, sehingga Imam al-Hakim berkata, “Seperempat hukum syariat Islam diambil dari Aisyah.” Dan dengarkanlah persaksian para ulama di zamannya.
Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Tidaklah para sahabat Rasulullah kesulitan tentang sebuah masalah, lalu mereka bertanya kepada Aisyah, kecuali pasti akan menemukan solusinya.”
Masruq berkata, “Saya melihat pembesar sahabat Rasulullah bertanya kepada beliau tentang masalah fara’idh (ilmu waris).”
Urwah bin Zubair juga menuturkan, “Saya tidak melihat orang yang lebih mengetahui tentang ilmu agama, kedokteran dan syair (Arab) melebihi Aisyah.”
Ibnu Abdil Barr Rahimahullaah memberi komentar, “Aisyah adalah orang nomor satu pada zamannya dalam tiga ilmu: ilmu agama, kedokteran, dan syair.”
Jangan katakan pada saya bahwa itu hanya didapatkan oleh Aisyah Radhiyallaahu ‘anha saja, tidak!!! Lihatlah pada kitab-kitab biografi ulama, niscaya akan kita temukan banyak sekali wanita lainnya yang menjadi seorang ulama wanita pada zaman sahabat.

Ulama wanita zaman tabi’in
Dari madrasah Ummahatul mukminin dan para sahabat lainnya, lahirlah para ulama-ulama besar dari kalangan kaum wanita, di antara mereka adalah:
Amrah binti Abdur-Rahman al-Anshariyyah an-Najjariyyah. Cukuplah sebagai simbol keagungannya, bahwa imam sebesar al-Qasim bin Muhammad Rahimahullaah berkata kepada Ibnu Syihab Rahimahullaah, “Wahai anakku, saya melihatmu sangat semangat menuntut ilmu. Maukah aku tunjukkan kepadamu gudangnya ilmu?” berkata Ibnu Syihab, “Ya!”, maka al-Qasim berkata, “Belajarlah pada Amrah, karena dia dulu berada satu rumah dengan Aisyah.” Maka saya (Ibnu Syihab) pun mendatanginya, ternyata saya temukan dia bagai lautan yang tak bertepi.
Di antara barisan mereka juga adalah Hafshah binti Sirin. Iyas bin Mu’awiyyah al-Qadhi (seorang qadhi tabi’in yang terkenal dengan kecerdasannya) menuturkan, “Saya tidak pernah menemukan seorang pun yang saya lebihkan di atas Hafshah binti Sirin!” Lalu orang-orang menyebutkan al-Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin, maka Iyas berkata, “Yang penting bagiku, tidak ada yang lebih utama daripada Hafshah.” Dan masih banyak lagi yang lainnya.
wahai saudariku kaum muslimah, itulah setitik dari samudra sejarah yang berisikan wanita-wanita mulia. Tidakkah para saudariku muslimah saat ini hendak meniru mereka? Dan saya yakin merekalah orang-orang yang tidak merugi bagi siapa saja yang menirunya. Mudah-mudahan Allah Subhaanahu wa ta’aala memberikan taufik kepada kita semua. Wallahul musta’an.

0 komentar: