Karena sudah tidak bisa menyembunyikan keingintahuannya, maka sang raja pun akhirnya bertanya kepada lelaki itu tua, "Wahai Orang tua, apa gerangan yang engkau lakukan ini?"
Terlihat lelaki tua itu menghentikan aktivitasnya. Dia pun menengok dan ketika bertatapan dengan si penanya, lelaki itu mengenali junjungannya.
"Hamba tengah menanami kebunku dengan beraneka buah, Baginda. Aku berharap sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang kebunku ini akan penuh dengan aneka buah-buahan."
Sang raja kembali memandang salah satu rakyatnya itu. Dia mencoba mengira-ngira umurnya. Lelaki itu sungguh kelihatan sudah sangat tua. Kulitnya keriput dengan rambut yang dipenuhi uban. Lalu, untuk apa pula dia menanam buah yang mungkin baru akan berbuah sekitar sepuluh tahun yang akan datang? pikir sang raja.
"Wahai Kakek, untuk apa engkau menanam pohon yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk besar dan berbuah? Aku sendiri tak yakin engkau masih hidup kala pohon itu berbuah," kata sang raja.
Terlihat sang kakek tersenyum sesaat sebelum menjawab pertanyaan sang raja. "Wahai Baginda, bukankah buah yang kita makan itu adalah hasil dari tanaman yang ditanam ayah, kakek, atau bahkan buyut kita? Aku berpikir, kalaupun aku tidak bisa makan apa-apa yang aku tanam, setidaknya anak dan cucuku bisa menikmatinya. Oleh karena itu, aku pun tidak ragu-ragu lagi menanamnya, karena itu bisa menjadi tabunganku di akhirat kelak."
Sang raja sungguh terpesona oleh jawaban sang kakek. Meski dia hanya seorang rakyat biasa, tapi kearifannya sangat memukau dirinya. Tanpa merasa ragu, sang raja memerintahkan kepada salah seorang pengawalnya untuk memberikan sekantong uang sebagai hadiah untuk sang kakek.
"Kakek, hari ini aku telah belajar banyak darimu, maka terimalah uang ini sebagai hadiah dariku!" kata sang raja.
Sambil menerima hadiah itu, sang kakek tersenyum lebar lagi, "Ternyata, tidak perlu menunggu lama. Sebab, Allah sudah membalas kontan segala kerja kerasku hari ini!"
Saat melihat kegembiraan sang kakek, raja dan para pengawalnya pun ikut senang. Lalu, menambah lagi pemberian itu sehingga menjadi dua kantong uang emas. Itulah hadiah dari keikhlasan kita. Apabila kita menanam kebajikan, maka Allah akan membalas kebajikan kita baik di dunia itu maupun di akhirat kelak.
Disadur dari buku Taubatnya Seorang Pelacur, Penerbit DIVA Press
0 komentar:
Posting Komentar