Salam Kami


doa rabithah

doa rabithah

HADAPILAH...SHOUTUL HARAKAH

Selasa, 16 Agustus 2011

KETIKA ARJUNA JATUH CINTA

Degup jantung Arjuna mulai naik turun, keringat dingin pun mulai membasahi kulit putihnya. Mulutnya bagai terkunci, pikirannya tiba-tiba saja hilang. Sosok cinta yang ditatapnya dengan tidak sengaja itu, langsung menancap di dasar isi hatinya, padahal sudah sekuat tenaga dia menahan untuk tidak melihatnya. Tapi apalah daya, di saat dia mendongakkan kepalanya perlahan. Cinta menatapnya dengan pekat, dia memperhatikan dengan serius, tanpa bicara.
“Arjuna…? Kamu sedang sakit?” Miss Stefinaky yang saat itu menjadi moderator tiba-tiba menepuk bahunya. Tak lama terdengar suara riuh mahasiswa Universitas Tokyog, yang saat itu sedang mengikuti lomba Ikebana—merangkai bunga yang diadakan setahun sekali untuk menyambut Hinami—perayaan musim semi di Jepang. Mereka tertawa dan geli melihat kecanggungan teman terpintar mereka. Arjuna makin gelagapan, cinta melihatnya, kini dia tertawa.
Oh Tuhan…cantik sekali.  Arjuna melupakan bunga yang sedang dirangkainya. Pagi itu tiba-tiba saja menjadi hal yang membosankan dan melelahkan bagi Arjuna Dwitama, cowok impian semua mahasiswi di Universitas Tokyo, darah Indonesia itu sering kali menjadi bahan obrolan mahasiswi-mahasiswi karena ketampanan dan keramahan dia. Apalagi Arjuna adalah salah satu nominasi terbaik yang karya Ikebananya sering mengilhami mahasiswa untuk mencintai alam dan bunga-bunga. Dan kini ia sedang dilanda virus merah jambu kepada Cinta yang saat itu sedang duduk tepat di depannya.
“Maaf, Miss…anuu…saya….eeh…”
”Kebelet nih, Jun!” Tawa riuh kembali menghiasi seisi ruangan, membuat Arjuna merah padam. Tapi, bukan itu.. sungguh bukan itu, dia malu.. bukan karena ditertawai oleh teman-temannya. Sekali lagi, bukan itu—Cinta sedang tersenyum padanya. Oh God! Biarkan waktu berhenti—benaknya memohon.

"Aku bingung, Tamaki!” ucap Arjuna sedikit menerawang ke arah langit-langit kantin yang mulai terlihat bocor akan tetesan air hujan akhir-akhir ini.
Tamaki Ikazura cuek sambil manggut-manggut, mulutnya penuh dengan oden hangat—masakan lobak, mie rebus, dengan campuran telur rebus, bekal makanannya siang ini, katanya sih—pacarnya khusus membuatkan untuknya untuk menghangatkan tenggorokannya—yang katanya sedang terlanda flu.
"Apa ini yang namanya cinta?” lanjutnya lagi.
Tamaki menyeruput kopi hangat tanpa aba-aba. Kembali dia menyantap oden-nya dengan buas. Sekarang tanpa manggut-manggut, kini dia geleng-geleng. Mengangkat tangannya serta pundaknya sedikit. Arjuna memperhatikan mie yang terurai dalam oden Tamaki yang sedang akan  dimasukkan ke dalam mulut sobat satu asramanya ini. Mie panjang seperti rasa penasaranku pada cinta. Rasa inginku ingin memilikinya. Yah, seperti mie itu. Tapi, sepanjang itu pula rasa maluku untuk bilang padanya— oh.. Tamaki bagaimana ini?—benak Arjuna melompat-lompat, cemas.
Tamaki bukannya menjawab, malah serius bercerita tentang bekal makan siangnya yang tak mengugah hati Arjuna untuk makan bersamanya. Arjuna menghela napas panjang.
Dia baru tahu beginilah kalau sedang jatuh cinta. Padahal jujur saja, dia tidak percaya dengan cinta beserta embel-embelnya. Tapi gara-gara waktu itu, waktu dia mencoba menyendiri dengan mengikuti mata kuliah dari jurusan lain tanpa disibukkan dengan pekerjaan mata kuliah yang menumpuk, ataupun proposal yang harus naik "banding" dengan direktur  tersayang, dia tak sengaja menangkap sosok alami Cinta yang menyadarkannya dari puluhan tahun, puasa naksir cewek. Padahal Cinta sudah lama di kampusnya. Hanya saja dia baru sadar kalau ternyata Cinta itu ada.
"Maaf, ini bangku saya...” Sosok gempal itu menghampiri Arjuna yang sedang lesu duduk di bangku belakang. Arjuna memperhatikan sejenak. Suaranya lembut namun tegas—seorang gadis, dengan jilbab putih berbadan subur dihiasi dengan wajah oval mirip sekali dengan bola kesukaan Andi, adik kesayangan Arjuna yang kini berada di Kalimantan.
”Maaf, memangnya di sini ada nama kamu, Dut?” ucap Arjuna cuek. Tak biasa memang ia bersikap angkuh. Hanya saja waktu itu dia sedang kehilangan sifat ramahnya karena tersandung dengan mood yang tumpang tindih akibat urusan proposal yang hampir di-drop out dengan bagian administrasi staf kampus. Langsung saja ia mengejek tanpa alasan.
Seakan tersinggung, dadis yang ada didepannya itu mendelik, dengan marah.
”Kalau tidak mau member ya jangan menghina!” Ia pun beranjak dari tempat duduk Arjuna, kemudian keluar dengan menenteng sebuah kursi. Suasana ruang kuliah Jurusan Lecture Art Japan itu tiba-tiba riuh dengan tawa seisi ruangan, ketika gadis berbadan subur tadi masuk dengan menenteng kursi.
Arjuna ternganga.
”Oh.. Ma...af..." suaranya lirih, tersedak di tenggorokan. Baru kali ini dia tidak sengaja menghina seorang wanita di depan mahasiswa-mahasiswa—gawatnya lagi, dia baru sadar dia tidak lagi sendirian di ruangan  itu karena jurusannya sudah bubar hampir satu jam yang lalu.
Dia tidak sadar kalau Cinta itu adalah gadis yang berbadan subur yang barusan ia hina. Peristiwa itu terjadi saat Arjuna mencoba meminta maaf dengan gadis itu yang ternyata namanya adalah Yumiko Shafa. Namun, Arjuna senang memanggilnya Cinta.
”Saya memang sering dihina. Saya maklum,” ucap Yumi—gadis imut—berjilbab lebar dengan lesung pipit di pipinya yang oval apel itu.
”Bukan itu maksud aku. Aku tuh...”
”Anda tidak pantas berteman dengan saya!” kata-kata terakhir Yumi ini yang menepuk otaknya dengan keras. Hatinya pedih.
Tamaki cekikikan mendengar cerita Arjuna dengan raut wajah yang sebentar-bentar berubah jadi galak, kaget, tersipu-sipu, dan sedih.
”Kalau aku jadi kamu, Jun, cuekin ajalah, seperti nggak ada yang lain saja. Bukankah cewek-cewek di sini cakep semua, kenapa kamu malah kepincut sama cewek model seperti itu?”
”Namanya Cinta, Tamaki!”
”Ho-oh.. Terus apa istimewanya?”
"Ya, dia istimewa. Dia itu beda, karena....”
Ucapan Arjuna terhenti. Dia mulai mengerlingkan matanya, aneh. Oh, God! Dia baru sadar kalau selama ini dia menyukai Cinta—tanpa alasan.
”Karena...?” Mata dan mulut Tamaki pun mengikuti gerakan mulut sahabatnya tersebut. Arjuna tak berbicara sepatah kata pun. Entahlah. Kata-kata itu hanya sampai di ujung tenggorokannya. Tamaki menyeruput kopi hangatnya lagi, sambil diaduk-aduknya. Kemudian cengegesan tiba-tiba, dijulurkan lidahnya dengan sok centil.  ”Karena dia endut ya? Ha..ha..ha!”  celetukan Tamaki langsung dibalas dengan jitakan maut Arjuna.
”Sembarangan!”
”Orang Indo memang unik!” cengir Tamaki menyindir Arjuna. Ia hanya mencibir dengan memburu jitakan ke arah kepala Tamaki.
***
Dari obrolan gila Tamaki, Arjuna mulai memikirkan alasan apa dia menyukai Cinta. Yumiko—aku sering lupa kalau itu namanya—aku lebih suka dengan panggilan Cinta untuknya. Seorang gadis berketurunan dua negara—dengan Ayah keturunan Arab dan ibunya keturunan Jepang— berwajah oval, berlesung pipit dua dengan mata birunya yang saat berbicara seperti memberi kilatan pada orang yang melihatnya. Cinta itu memiliki wajah yang indah, senyumnya jarang diumbarnya, tapi sekali tersenyum seperti bidadari. Dia unik. Belum lagi, kata-katanya yang singkat, tapi jelas sekali. Arjuna mulai ingat, pernah suatu hari dia berpapasan dengan Cinta saat di dalam lab komputer kampus.
”Hai, lagi sibuk ya?” Arjuna menggaruk-garuk kepalanya—menyembunyikan raut wajahnya yang memerah.
”Ya.” Cinta tak berkedip sedikit pun dari layar komputernya.
”Oh, lagi ngapain?” Kini Arjuna mulai memberanikan diri menatap Cinta di sampingnya—walau sedikit-sedikt.
”Ngetik!”
”Buat apaan?”
”Tugas.”
”Oh...siapa pengajarnya?”
“Prof. Tatsuro.”
”Ohh...Kamu apa kabar nih?”
”Baik.”
”Masih marah ya, soal yang waktu itu?”
”Enggak.”
”Serius nih?, aku minta maaf deh.”
”Iya.”
Mati kutu deh! Pelit banget ngomongnya, Non...
Mengingat itu Arjuna jadi sering tertawa sendiri. Tapi begitulah Cinta—dia memang beda. Dan Arjuna tidak usah repot-repot mencari alasan mengapa dia mencintai Cinta. Lagian, Arjuna sekarang mulai mencari-cari informasi mengenai cintanya. Bahasa yang terlantun dari mulut Cinta kadang-kadang beraksen Inggris yang mempunyai struktur bahasa halus dan mudah dimengerti, nada bicaranya yang tegas, membedakan ia dengan perempuan-perempuan Jepang yang sering mendekati Arjuna ataupun para perempuan Indonesia.
Usut-usut punya usut. Si Cinta ini adalah perwakilan keputrian di remaja masjid di Universitas Tokyo. Arjuna mulai berpikir, jika dia ingin mendapatkan hati Cinta maka dia harus mengubah penampilannya menjadi seorang pemuda masjid; yang memakai celana gantung di atas mata kaki, dan bahasanya pun mulai diperbaikinya dan selalumemakai peci ke mana pun ia pergi. Dan akhirnya, ia pun merelakan celana kesayangannya dipotong  sepuluh centi, serta rela-relain berburu peci yang biasa dipakai pemuda mansjid, kecil, bulat dan bahan dasarnya dari kain di pasar-pasar tradisional. Hal ini tentu saja berbeda dengan kebiasaan Arjuna yang sangat anti dengan pasar tradisional, apalagi jalanannya becek, penuh dengan orang yang berjualan dengan tidak rapi, dan tak jarang berdesak-desakkan hanya untuk mendapatkan barang-barang yang murah dan bagus. Namun, demi cinta dia lakukan semuanya.
”Ya ampun, Jun.. kamu salah makan apa? Kamu kesurupan hantu ya, Jun?” Itulah ekspresi pertama Tamaki—yang tidak percaya, sahabat Indonesia kerennya itu berubah.
Arjuna cuek saja, berapa orangpun menertawakan penampilannya yang baru. Dia tidak peduli. Yang pasti, dengan seperti ini, Cinta akan mulai menyukainya. Walaupun, berubah seperti ini—Arjuna banyak berkorban—banyak organisasi yang terbengkalai—karena dia terlalu aktif di masjid kampusnya.
Tiga bulan sudah dia memasuki dunia "lain" dari kehidupannya. Dia mulai tahu, kalau Cinta tidak menyukai pacaran.
”Wanita itu suka sama lelaki yang bertanggung jawab dengan amanahnya, serta taat beribadah...” ceramah Senior Abdul Damyoji—ketua pemuda masjid di kampusnya itu—mulai menyesakkan hati Arjuna saat mentoring pengurus berlangsung. Soal bertanggung jawab sih, dia selalu tepat waktu hadir di masjid, organisasi yang lain sudah banyak ditinggalkannya agar tidak mengganggu rutinitasnya di keorganisasian masjid. Namun, kalau taat beribadah—hanya di sini ini saja dia sering shalat, mengaji—tapi kalau di rumah jarang— itu juga kalau ada mood. Oke deh  kalau cinta memang menginginkan calon suami yang shaleh dan rajin beribadah, aku lakukan, pikir Arjuna.
”Apa? Menikah?” Mata Tamaki melotot, oden kesayangannya hanya menjadi pajangan setelah ia mendengar ucapan dari Arjuna.
Arjuna mengangguk, senang.
”Sama siapa...?”
”Cinta.”
”Ya ampun! Sama cinta yang ndut itu?”
”Hei! Dia calon istriku, Tamaki!”
”Baru juga calon! Kamu kok yakin banget. Memangnya kalian sudah jadian?”
Arjuna menggeleng, tapi raut wajahnya belum berubah—masih tersenyum.
”Gila!”
”Emang!”
Keputusan Arjuna sudah bulat, tidak bisa diganggu gugat. Walaupun dia jarang berbicara dengan cinta, dia yakin Cinta seringkali juga melirik-lirik pandang ke arahnya. Apalagi, saat ada mentoring semua pengurus. Pertemuan mata mereka seringkali terjadi. Layaknya seorang pejuang di dalam salah satu acara reality show di televisi, Arjuna berusaha mencari tahu kesukaan Cinta. Sampai ke akar-akarnya. Karena cinta bukan dijadikannya seorang pacar, namun istri. Cinta yang satu ini benar-benar berbeda dari perempuan-perempuan yang pernah ia kenal.
Mulailah ia hunting-hunting foto Cinta di kesekretariatan masjid. Setelah dapat, Arjuna langsung menempel foto itu di gabus-gabus yang telah ditempel dengan hiasan-hiasan love, perjalanan cintanya, pengalaman unik saat ia memendam rindu kepada cintapun ikut nongkrong  yang ditempel di gabus-gabus tersebut.
Arjuna pun memberi tahu rencana ini kepada Tamaki. Awalnya, Tamaki sempat jantungan saat mendengar rencana yang akan dijalankan. Namun, karena sudah terbiasa dengan berita-berita "aneh" dari Arjuna, dia akhirnya menurut saja, tanpa komentar—pikir Tamaki—dari pada dia ikutan gila—menentang kemauan Arjuna.
Setelah persiapan telah selesai,  entah kenapa degup jantung Arjuna berdetak kencang, seperti ingin keluar saja dari lapisan kulit. Tangannya sedang memegang rangkaian kelopak mawar dengan sakura—karyanya sendiri, disaat ia memikirkan Cinta—mulutnya komat-kamit, seakan menghapal kata-kata yang sedari tadi telah dipersiapkannya. Belum lagi, keringat dingin yang merayapi seluruh badannya. Ini selalu menjadi kebiasaannya—jika akan berdekatan dengan Cinta. Kalau bukan, karena ia teramat ingin memiliki cinta. Mungkin semua ini tidak akan dilakukannya—pikirnya, pasrah. Dan kini tiba saatnya, saat ia berkata jujur pada cinta.
”Kata temen-temen, Anda mencari saya?” suaranya lembut namun tegas kembali terucap. Bagai sebuah petir yang menyambar hati Arjuna— tak karuan.
”Oo.. anu.. iya,” jawab Arjuna pelan.
”Ada apa?”
”Ini buat kamu...” Arjuna mengulurkan rangkaian mawar dan sakura yang tadi dipegangnya kepada Cinta.
”Ini untuk apa?” Cinta menerima, segan.
Arjuna menghela napas, dalam. Kemudian melihat sekeliling. Terlihat teman-temannya yang membawa gabus yang tadi telah mereka hias. Arjuna meniti satu per satu tulisan yang ada. Sampai pada gabus yang dipegang oleh Tamaki, sahabatnya itu memegang gabus yang ”spesial” bertuliskan ”May you married me?” Jantung Arjuna makin kencang berdetak, saat melihat wajah cengegesan Tamaki, berubah menjadi pucat. Apa karena dia gugup juga?
”Tolong lihat  yang dibawa oleh teman-temanku ini. Ini semua untuk kamu.”
”Sudah, terus?” Cinta mengernyitkan dahinya.
Arjuna yang tadi gugup, tiba-tiba merasa gemas. Masih saja ia keluarkan suara pelitnya dan kata-katanya yang super pendek, singkat dan padat itu—memangnya ngirim telegram—benak Arjuna berguman. Ingin ia cubit pipinya yang manis itu, melihat wajahnya ia berbenak mengoyangkan isi hatinya.
”Aku suka kamu,” ucap Arjuna kemudian dengan lantang.
Cinta heran, namun tak lama dia tersenyum tipis.
”Jadi?”
Arjuna tambah gemas.
”Kamu mau jadi pacarku?”
”Maaf...”
Kini, jawaban Cinta—membuat Arjuna riang. Dia sudah tahu jawabannya—dia pasti menolak kalau dijadikan pacar, namun jika ia ulangi lagi pertanyaannya—ia yakin Cinta tak akan berkutik lagi.
”Eeh.. maksudku, kamu mau jadi istriku?” Kata-kata Arjuna membuat Riuh teriakan mahasiswa-mahasiswa Universitas Tokyo yang sedari tadi sedang mengamati mereka. Ada rasa cemburu dari Mahasiswi-mahasiswi itu, ada siulan memberi semangat, ada yang berteriak histeris tidak percaya melihat apa yang diungkapkan pujaan mereka, orang Indo tampan terpencut hanya dengan seorang Yumiko Shafa, yang sama sekali tak ada sempurnanya—pikir mereka.
Cinta terdiam, sepertinya dia kaget dengan ucapan dari Arjuna.
”Sukron atas perhatiannya...” sahutnya lembut.
Arjuna menunduk, menyiapkan hatinya. Saat Cinta mengiyakan permohonannya. Mungkin dia akan berteriak sekuat-kuatnya agar seluruh dunia tahu, dia diterima oleh cinta. Karena sudah rahasia umum—seorang wanita seperti cinta sering disebut dengan akhwat— jika dilamar—tidak akan berani menolak—apalagi calonnya rajin nongkrong di masjid, Nehi mohabaten deh buat ditolak. Dan itu akan menjadi suatu kenyataan pada saat ini. Akhirnya pengorbanan lahir dan bathin seorang Arjuna tidak akan sia-sia. Setelah ini dia akan ber-Hinami bersama gadis ini di bawah dedaunan sakura yang indah dan sejuk menatapnya. Bayangan Arjuna sedikit lagi akan berbunga-bunga.
Yumiko mengernyit perlahan, melihat ekspresi Arjuna yang berbinar-binar.
”Tapi saya tetap tidak bisa menerima lamaran Anda...”
Arjuna keget bukan main, dia menonggak dengan cepat. Tamaki saja tidak percaya—gadis seperti Yuniko itu menolak Arjuna yang sering dijadikan rebutan cewek-cewek di kampus. Bukannya menikah adalah satu-satunya cara untuk mendekati Cinta.
”Loh, kok bisa? Bukankah kamu memang gak suka pacaran? Dan kamu pengennya langsung menikah khan? Apa karena kamu masih kuliah, jadi kamu menolak menikah?”
Cinta—Yumiko menggeleng pelan, dibarengi dengan senyuman manisnya. Ini senyuman kesukaan dari Arjuna—cantik sekali.
”Bukan, saya menghargai semua usaha-usaha Anda. Selain saya belum begitu mengenal Anda...”
”Oh.. kalau itu, tenang saja—aku bisa bikin kamu cepat kenal sama aku. Aku orang baik-baik kok, orang Indonesia yang ramah...penyuka bunga, lain kali aku pasti akan tiap hari merangkaikan bunga untukmu.” Arjuna mengedipkan matanya, centil. Cinta manyun, aneh.
”Iya, tapi saya tidak berniat untuk menikah lagi, jadi maafkan saya...”
”Hah? Maksudnya?” Mulut Arjuna tergangga. Tamaki dan mahasiswa yang lain pun tercekat tidak percaya. Menikah lagi?
”Afwan, saya sudah ada yang punya, karena saya sudah menikah.”
”Apaa??!!” Serentak semua mahasiswa berucap.
”Sudah menikah? Sama si...apa?”  tanya Arjuna, kelu—Ia pikir kenapa pertama kali Cinta berbicara dengan panjang dan tidak pelit kata-kata akan membahagiakan tapi nyatanya malah menyakitkan hati. Ingin rasanya ia menangis di situ. Tapi jelas saja ia tidak melakukannya karena seorang Arjuna tidak boleh menangis dan tidak boleh kalah. Duh, tapi tetap saja, aku terlihat bodoh sekali—pikir Arjuna, merana.
Cinta mengangguk, ”Senior Abdul Damyoji adalah suami saya.”
Apaaa!!!
Wajah Arjuna merah padam. Senior Damyoji? Oh God! Aku benar-benar kalah total—pikirnya serentak. Kini pengorbanannya seakan sia-sia. Menjadi saleh, rajin beribadah, selalu memakai peci, berkorban waktu menyusuri pasar-pasar tradisional yang becek, bau, serta merelakan berdesak-desakkan hanya untuk mencari peci-peci yang biasa dipakai oleh pemuda-pemuda masjid. Belum lagi usaha Arjuna yang merelakan memotong celana kesayangannya di atas mata kaki— hanya karena ingin dekat dengan Yumiko.
Mata Arjuna perih. Kepalanya mulai terasa berat—kali ini malunya menusuk hulu hatinya. Hinami—berjalan menyusuri taman sakura di musim semi ini kian memudar. Air bening mulai menggenangi kelopak matanya.
11 April 2010
*Kadang sebuah pengakuan tak diperlukan for my rain dalam ”satu kata”
Begitupun aku.
Lapar.
Dahaga.
Ketakutan akan masa depan tiba-tiba sirna saat tidur menyeret aku ke alam mimpi. Tapi senja ini aku ingin tersadar, aku ingin melihat Ramadhan yang sempurna dalam hidupku. Momen inilah yang sangat aku nanti-nantikan. Aku ingin menghabiskan Ramadhanku dengan makna lain, meskipun kata orang tidur di bulan Ramadhan ibadah tapi aku inginkan ibadah yang lebih baik daripada sekadar tidur. Kututup mushaf kecilku untuk menyempurnakan tilawah Quranku.
"Bangun… bangun! Sebentar lagi buka puasa!”
Aku bersegara menggoyangkan badan kedua temanku itu. Mereka hanya menggeliat malas dan kembali meringkuk dalam selimut.
“Kalian harus ingat, jumlah makanan gratis di mushola sangat terbatas. Terlambat sedikit saja kalian harus menunggu hari esok untuk sekadar merasakan daging,” kataku seraya berjalan menjauh dari mereka.
Selanjutnya saat aku tengok ke belakang, mereka berdua tampak tergesa-gesa mencuci muka dengan sisa air minum dalam botol yang mereka punya, lalu melipat spanduk dan teropoh-gopoh menyusulku. Aku hanya tersenyum kecil melihat tingkah mereka. Buat kami daging adalah makanan yang sangat istimewa yang tidak bisa kami temui di hari-hari biasa.
Indah sekali Ramadhan kali ini untukku. Mushala kecil yang sering diabaikan keberadaannya itu tiba-tiba sesak akan manusia, bersatu tanpa terlihat kesenjangan sosial di antara mereka. Semua tampak sama di hadapan Allah.
Aku duduk-duduk di teras mushala, setelah selesai shalat dan berbuka. Di sebelahku ada dua orang remaja yang sedang berbincang-bincang. Samar-samar pembicaraan mereka terdengar di telingaku.
“Bang, kata Marzuki, Pak Haji Agus itu pelitnya bukan main. Kemarin-kemarin aku lihat pengemis di depan rumahnya dihardiknya karena dianggap menggangu saja,” kata pria keriting itu sangat bersemangat.
“Ah, itu kan kemarin, hari ini aku lihat dia membawa berkantung-kantung sembako. Saat kutanya sopirnya katanya dia mau menyantuni anak-anak yatim di panti asuhan desa sebelah.” Orang yang berkacamata menyahut.
“Ah, gue rasa itu karena sekarang bulan Ramadhan saja.”Si Keriting menjawab lagi sambil mencibir.
“Hey, sudahlah, kalian ini sedang apa? Tak baiklah kalian membicarakan orang di bulan puasa. Batal pula nanti puasa kau berdua.”
Suara berat berlogat Medan  itu mengejutkan mereka berdua. Mereka terdiam menyadari kekeliruan mereka sendiri. Aku tertegun. Tak asing rasanya buatku mendengarkan perkataan semacam itu. Rasanya tak salah kalau aku berpikir menyantuni anak yatim selayaknya dilakukan bukan dalam bulan Ramadhan saja. Dan rasanya tak berlebihan juga bila aku berpikir menggunjing itu tidaklah layak dilakukan di bulan apapun meskipun bukan di bulan Ramadhan.
Kaum dhuafa di lingkungan tempat tinggalku jumlahnya sangat banyak. Deretan rumah- rumah kardus dan rumah-rumah papan yang berderet barantakan di pinggir sungai cukup mampu membuktikan betapa masih banyaknya masyarakat bangsa ini yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ironisnya itu semua terjadi di dalam sebuah kota yang dikenal masyarakat sebagai kota metropolitan. Aku terkadang mulai jengah dengan hidupku yang tak kunjung membaik. Itulah yang menjadikan Ramadhan menjadi momen yang sangat berarti buat masyarakat kecil sepertiku.
Allah seolah-olah menurunkan malaikat-malaikat beserta berkantong-kantong rezeki lebih dari hari biasa. Bukan cuma untukku tapi juga untuk beberapa orang di sekelilingku. Ada keteduhan di sini. Ada ketenangan dalam jiwa tiap malam gelap. Lantunan ayat-ayat suci mengalun merdu memecah sepinya malam.
Kadang-kadang aku merasa menyesal pergi ke kota besar ini dengan membawa sejuta mimpi dan harapan yang sampai hari ini belum dapat terwujud. Yang aku hadapi dalam dunia nyata tak seindah yang aku lihat dalam layar kaca. Aku sungguh menyesal kenapa tak dari awal aku pertimbangkan keinginan orangtuaku yang dengan harapan besar memintaku untuk tinggal di kampung. Mengurus ladang dan sawah yang tak lagi mampu lagi mereka urus karena rentanya usia. Tapi apalah artinya penyesalan. Setiap keputusan selalu mengandung risiko, dan yang aku jalani sekarang adalah bagian dari risiko itu.
Kini untuk mampu pulang kampung dan menikmati hijaunya sawah seolah-olah menjadi barang mewah yang sulit aku wujudkan dengan kondisi ekonomi sekarang.
“Din, masih bengong aja…. Lebaran masih jauh!” Dan sekali lagi sebuah tepukan di bahuku mengejutkanku.
Tanpa aku sadari mushala itu telah sepi. Para jamaah telah mulai berangsur-angsur pergi menuju rumah masing-masing setelah menunaikan shalat maghrib hendak memanfaatkan momen indah bersama keluarga. Ah, aku begitu iri.
“Copet!”
“Copet!”
“Kejar… kejar!!” Tiba-tiba kulihat dari kejauhan puluhan orang berlari di jalan dekat mushala. Aku melihat kemarahan yang membara dalam muka-muka mereka. Seorang ibu muda terduduk lemas di teras masjid. Beberapa orang tampak sibuk menenangkannya yang tengah menangis. Ibu muda itu hanya mampu menyeka butiran-butiran air mata yang mengalir dari pelupuk matanya.
Aku mendekat ke arah kerumunan itu.
“Apanya yang hilang, Man?” seorang pemuda berbadan ceking bertanya pada orang di sebelahnya.
“Waktu sholat tasnya diambil pencuri. Di dalam tas itu ada handphone, perhiasan, dan dompet barisi uang satu juta dua ratus ribu rupiah.” Pemuda di sebelahnya menjawab tanpa menoleh ke arah yang bertanya. Mata cekungnya terus menatap korban pencurian itu, seraya selintas membayangkan betapa menderitanya berada di posisi ibu muda itu.
“Huff!!” aku menarik nafas berat. Ada beban yang terasa menyesak di dalam dada melihat peristiwa serupa sering terjadi berulang yang ironisnya dalam bulan yang penuh berkah ini.
Tak kuhiraukan lagi bisik- bisik orang dalam kerumunan itu. Hanya menambah sesak di jiwa. Keindahan Ramadhanku jadi berkurang nilainya.
Saat hendak kulangkahkan selangkah kaki dan hendak beranjak pergi, kudengar suara-suara ribut gerombolan masa yang penuh amarah, menggelandang seorang pria berbaju koyak ke arah korban pencurian.
“Ampun, Pak! Ampun, Pak!” jeritan pria itu terdengar sangat pilu dan menyayat jiwa. Kulihat tetesan darah mulai mengalir dari pelipisnya. Tampak beberapa luka memar membiru menempel di wajahnya.
“Bakar! Bakar!” Tampak beberapa pemuda berkoar-koar mengajukan tuntutan penghakiman masa atas kejahatan itu.
“Sudah…sudah…laporkan ke polisi saja!”
Beberapa orang bapak-bapak mulai berusaha menenangkan kericuhan itu. Menurutku sikap mereka sedikit lebih bijak.
“Ampun…ampun, Pak!” Pria itu terus memohon-mohon. Rambutnya masih berada dalam genggaman orang-orang yang terbakar amarah. Air mata mulai keluar dari sudut matanya.
“Ampun! Ampun, Pak!” pria itu kembali berteriak-teriak histeris berusaha menahan penghakiman masa atas dirinya.
“Saya hanya ingin pulang kampung, Pak!  Ampun...ampun..!”
Degg!! Jantungku mulai berdetak lebih cepat dari biasanya. Pulang kampung? Demi mendengar ucapan pira itu, sedikit redalah amarah pemuda-pemuda itu. Seorang bapak berusia enampuluhan menahan tangan pemuda-pemuda yang terus memukulinya. Bapak itu mendekat dan berusaha menggunakan cara mengintrogasi yang lebih lunak.
“Pulang kampung ke mana, Dik?”
Orang-orang dalam kerumunan itu mulai menatapnya penuh rasa iba.
“Ke Pa..lem..bang, Pak...” suaranya terdengar serak dan terbata-bata.
“Saya sangat menyesal, Pak…Ampun, Pak.. saya belum pernah mencuri sebelumnya. Sumpah Demi Allah.” Isak tangisnya kini mulai diringi tatapan kosong.
“Saya telah menjanjikan penghasilan untuk keluarga saya di kampung, Pak…Lebaran ini saya harus pulang…”
Aku rasanya tak tahan mendengar ucapan pria itu. Terasa sangat pilu dan menyayat jiwa. Aku merasakan apa yang baru saja diucapkannya. Aku pun terbayang istriku dan anakku di kampung. Kepiluan putri bungsuku ketika melihat sebayanya mengenakan baju baru menari-nari di pelupuk mataku.
Aku terbayang perasaan istriku di kampung halaman melihat ibu-ibu lain berbesar hati menerima penghasilan dari tunjangan hari raya yang diperoleh suami mereka. Air mata perlahan mulai mengalir dari sudut mataku.
Perih tersa dalam jiwaku. Teramat perih. Bergegas kutinggalkan kerumunan itu. Dengan gontai kulangkahkan kaki ke gubugku. Demi ketenangan jiwaku di bulan suci. Demi perginya sifat buruk manusia di bulan Ramadhan. Hati kecilku membisikkan sebaris doa. Ramadhan, jangan pergi...

0 komentar: